Memahami sejarah Puja Mandala, sebuah kompleks peribadatan unik dan menarik yang berdiri tahun 1997 di kawasan Nusa Dua, Bali. Kompleks ini menjadi simbol toleransi dan kerukunan umat beragama karena di dalamnya terdapat lima rumah ibadah dari agama yang berbeda, berdiri berdampingan dengan damai. Puja Mandala mencerminkan sikap toleransi yang tinggi dari masyarakat Bali, yang meskipun mayoritas beragama Hindu, namun sangat menghormati pemeluk agama lain . Kelima rumah ibadah tersebut adalah:
- Masjid Agung Ibnu Batutah (Islam)
- Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa (Katolik)
- Vihara Buddha Guna (Buddha)
- Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa (Protestan)
- Pura Jagatnatha (Hindu)
Asal Usul/Sejarah Puja Mandala
Gagasan pembangunan Puja Mandala berawal dari kesulitan yang dihadapi oleh sebagian umat Muslim yang tinggal di daerah Benoa dan Nusa Dua untuk menjangkau masjid. Pada saat itu, masjid terdekat berjarak sekitar 20 kilometer di Kuta. Mayoritas dari mereka adalah pendatang dari Jawa yang bekerja di sektor pariwisata Nusa Dua. Sebagai kelompok minoritas, mereka terkendala oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang mengatur tentang pembangunan rumah ibadah.
Kondisi ini kemudian mendapat perhatian dari Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi saat itu, Joop Ave (1993-1998). Beliau memiliki visi untuk menciptakan sebuah kawasan wisata yang tidak hanya indah, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kerukunan antar umat beragama. Joop Ave berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mewujudkan idenya membangun kompleks peribadatan yang dapat mengakomodasi lima agama yang diakui di Indonesia.
Inisiatif Joop Ave ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Puja Mandala. Beliau berperan besar dalam mendorong terwujudnya Puja Mandala sebagai simbol toleransi beragama di Bali, sekaligus menjadi contoh nyata bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.
Puja Mandala bukan hanya sekedar kumpulan rumah ibadah. Keunikannya terletak pada lokasinya yang strategis di kawasan pariwisata internasional Nusa Dua, desain kompleks yang menyatukan lima rumah ibadah dalam satu area, dan aktivitas keagamaan yang seringkali dilakukan secara bersamaan. Hal ini menjadikan Puja Mandala sebagai simbol kerukunan umat beragama yang membanggakan Indonesia.
Fakta Menarik tentang Puja Mandala
Berikut beberapa fakta menarik seputar pembangunan Puja Mandala:
- Ide pembangunan kompleks Puja Mandala muncul pada tahun 1980-an sebagai bagian dari proyek pengembangan pariwisata internasional Nusa Dua. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata Bali, tidak hanya dari segi keindahan alam dan budaya, tetapi juga dari sisi spiritualitas.
- Peletakan batu pertama pembangunan Puja Mandala dilakukan pada tahun 1994 di atas lahan seluas 2,5 hektar milik PT Bali Tourism Development Center (BTDC) di Desa Kampial, Tanjung Benoa.
- Pembangunan rumah ibadah dibiayai oleh masing-masing kelompok agama, menunjukkan semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mewujudkan Puja Mandala.
- Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa, selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 1997.
- Vihara Buddha Guna diresmikan pada 20 Desember 1997.
- Pura Jagatnatha menjadi rumah ibadah terakhir yang diresmikan, yaitu pada 30 Agustus 2004.
- Menariknya, Konghucu belum diakui secara resmi sebagai agama di Indonesia ketika kelima rumah ibadah tersebut dibangun.
Pembangunan Puja Mandala
Pembangunan Puja Mandala dimulai pada tahun 1994 setelah PT BTDC menyediakan lahan seluas 2,5 hektar di Desa Kampial. Lahan tersebut dibagi menjadi lima bagian, masing-masing seluas 5.000 meter persegi, untuk pembangunan kelima rumah ibadah.
Tahap pertama pembangunan selesai pada tahun 1997 dengan diresmikannya Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa. Vihara Buddha Guna menyusul diresmikan pada tahun yang sama, sedangkan Pura Jagatnatha baru diresmikan pada tahun 2004.
Arsitektur Puja Mandala
Setiap rumah ibadah di Puja Mandala memiliki desain arsitektur yang unik dan mencerminkan karakteristik agamanya masing-masing:
- Masjid Agung Ibnu Batutah: Masjid ini memiliki kubah besar berwarna hijau dan menara yang menjulang tinggi, khas arsitektur masjid di Timur Tengah.
- Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa: Gereja ini bergaya modern dengan atap yang tinggi dan jendela-jendela besar.
- Vihara Buddha Guna: Vihara ini didominasi warna merah dan kuning, dengan ornamen khas Buddha seperti patung Buddha dan stupa.
- Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa: Gereja ini memiliki desain yang sederhana namun elegan, dengan salib besar di bagian depan.
- Pura Jagatnatha: Pura ini dibangun dengan arsitektur tradisional Bali, dengan gapura dan ukiran-ukiran khas Bali.
Kesimpulan
Puja Mandala bukan hanya sekedar tempat ibadah, tetapi juga merupakan simbol nyata dari toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Keberadaannya menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati.
Puja Mandala juga menjadi bukti bahwa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika, di mana perbedaan justru menjadi kekuatan untuk membangun bangsa. Kisah berdirinya Puja Mandala dapat menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dunia, untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama .
Selain sebagai pusat peribadatan, Puja Mandala juga menjadi daya tarik wisata yang unik. Wisatawan dari berbagai latar belakang agama dan budaya dapat berkunjung dan menyaksikan langsung keharmonisan antar umat beragama di Bali.
Selesai main watersport di Tanjung Benoa, Anda bisa mampir dan sembahyang disini, di Puja Mandala. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 15 menit naik mobil.